PWRI Bongkar Praktek "Wajib KKPR" untuk UMKM,NIB Jadi Ladang Pungutan Liar.



Bogor — Jabar Expost tgl 03/12/2025 Ketua Persatuan Wartawan Republik Indonesia (PWRI), Rohmat Selamat angkat bicara keras terkait dugaan praktik wajibnya penggunaan KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) bagi pelaku UMKM yang ingin mengurus Nomor Induk Berusaha (NIB) melalui sistem OSS. Rohmat menilai mekanisme yang semestinya sederhana justru berubah menjadi labirin birokrasi yang membuka peluang pungutan dan beban biaya baru bagi masyarakat kecil.

Di lain tempat menurut Asep Bunhori SH, fakta di lapangan menunjukkan semakin banyak pelaku usaha mikro yang dipaksa “mengeluarkan biaya tambahan” hingga Rp3,5 juta hanya untuk mendapatkan KKPR agar proses verifikasi NIB bisa lolos. Padahal, secara aturan, UMKM mestinya mendapatkan kemudahan serta penyederhanaan perizinan, bukan sebaliknya.

“Ini sudah keluar dari semangat deregulasi. UMKM bukan mesin uang, jangan dipaksa bayar mahal hanya untuk Kelengkapan NIB. Kalau benar ada pola wajib KKPR dengan biaya 3,5 juta, ini jelas memberatkan dan membuka ruang penyimpangan,” tegas Asep

Ia menyebut bahwa konsep NIB dirancang pemerintah sebagai pintu kemudahan berusaha, bukan sebagai jebakan baru yang membuat pelaku UMKM kebingungan maupun terbebani pungutan tidak jelas. Kewajiban KKPR pun menurutnya kerap tidak dijelaskan secara terang benderang, sehingga para pelaku UMKM terpaksa mengikuti jalur yang disodorkan tanpa pemahaman penuh.

“UMKM harusnya didampingi, bukan diperas. Jangan memanfaatkan ketidaktahuan mereka soal sistem OSS. Jika ada pihak-pihak menjadikan KKPR sebagai syarat mutlak dan menarik biaya, itu harus diselidiki,” tambahnya.

Rohmat juga meminta Kementerian dan lembaga terkait untuk melakukan penertiban, audit lapangan, dan membuka kanal pengaduan yang responsif. PWRI, kata dia, siap mengawal isu ini agar tidak menjadi praktik pembiaran yang pada akhirnya merugikan masyarakat kecil yang hendak naik kelas.

PWRI menegaskan bahwa regulasi digital seperti OSS hanya akan efektif jika dijalankan secara bersih, transparan, dan bebas dari distorsi kepentingan. Ketika UMKM dipaksa membayar mahal untuk sekadar mendapatkan legalitas dasar, maka tujuan besar pembangunan ekonomi kerakyatan otomatis terganggu.

“Negara hadir memberi kemudahan, bukan memproduksi beban baru. Jika UMKM saja harus bayar jutaan hanya untuk masuk OSS, mau jadi apa masa depan ekonomi kita?” tutup Rohmat.
Red : M Tole